Menyadari akan Kerugian yang Ditimbulkan oleh Kesombongan
Kita mungkin dapat melihat lebih jauh tentang kerugian yang disebabkan
oleh kesombongan atas keikhlasan seseorang dalam setiap fase kehidupan
yang dialaminya. Seseorang yang menyatakan dirinya lebih unggul daripada
orang lain, ia akan menolak segala macam kritikan, peringatan, atau
nasihat yang datang dari mereka.
Meski ada orang lain yang mengingatkan dirinya akan hal yang belum ia
pertimbangkan, ia akan sangat terpengaruh oleh perasaan unggul dalam
dirinya. Ia akan tetap mempertahankan pendapatnya daripada tunduk pada
kebenaran tersebut, walaupun ia tahu bahwa ia berada dalam posisi yang
salah. Dengan begitu, ia menjadi tidak ikhlas dan diatur oleh hawa
nasunya. Meski demikian, apa yang menjadi contoh keikhlasan adalah
menuruti apa yang dikatakan orang lain (bila ia salah, sedangkan orang
lain benar, Ed.) serta berserah diri tanpa perlu merasa lebih unggul
dari orang lain.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, yang pertama dan terpenting adalah
keharusmampuan meninggalkan perasaan egois yang menjadi penyebab
timbulnya kesombongan serta menahan diri dari sifat keras kepala dalam
diri kita.
Hanya dengan demikian, kita diharapkan mampu memenuhi ruh Al-Qur`an dan
beramal dengan ikhlas. Badiuzzaman Said Nursi juga mengingatkan mukmin
sejati bahwa penangkal yang tepat melawan ambisi untuk merasa lebih
unggul dan paling benar dari orang lain adalah dengan melawan
kesombongan dan mengakui bahwa mukmin sejati tidak selalu menuruti
pikirannya sendiri.
"Satu-satunya obat penyakit ini adalah dengan menyalahkan jiwamu sendiri
sebelum orang lain menyalahkannya dan tuntutlah dirimu. Dan dengarkan
nasihat sahabatmu, bukan hanya nasihat dari dirimu sendiri. Aturan dari
kebenaran dan kewajaran ini dikuatkan oleh sarjana ahli debat, yang
berisi, 'Barangsiapa yang ingin berdebat tentang masalah apa pun,
menginginkan kata-benar, siapa saja yang ingin benar dan lawannya salah
dan keliru, orang yang demikian telah berlaku tidak adil.' Tidak hanya
itu, orang yang demikian, ketika ia memunculkan kemenangan dalam
perdebatan tersebut, ia belum mempelajari segala sesuatu yang sebelumnya
tidak ia ketahui dan kemungkinan rasa kebanggaanya akan menyebabkan
dirinya kalah.
Akan tetapi, apabila lawan bicaranya benar, ia akan belajar sesuatu yang
sebelumnya tidak ia ketahui dan dengan demikian ia mndapatkan sesuatu
tanpa sedikit pun merasa kalah. Itu sama baiknya seperti terpelihara
dari kesombongan. Seseorang yang adil sehubungan dengan kegemarannya
pada kebenaran, akan mempersoalkan keinginan jiwanya untuk menuntut
sesuatu dari kebenaran tersebut. Jika ia melihat lawannya berada pada
posisi yang benar, ia dengan rela akan menerima kekalahannya dan
mendukungnya dengan sukacita." 32
Keberhasilan seseorang hanya dapat dicapai bila ia mampu melawan
kesombongan yang merusak keikhlasan. Allah adalah Zat yang telah
menganugerahkan atas diri umat manusia pikiran dan kemampuan.
Sebagaimana dinyatakan pada ayat di bawah ini, manusia tidak mengetahui
apa-apa kecuali yang telah Allah hidayahkan kepadanya,
"Mereka menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak ada yang dapat kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya,
Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan lagi Mahabijaksana.'" (al-Baqarah
[2]: 32)
Manusia adalah makhluk lemah yang telah diciptakan Allah dari ketiadaan
menjadi ada. Segala kemampuan manusia merupakan hasil pemberian,
kemurahan, dan kebaikan Allah. Ketika dibawa ke dalam kebijaksanaan
tiada akhir, kekuasaan yang tiada batas, dan pengetahuan yang dimiliki
Allah, jelaslah bahwa orang yang beranggapan telah mendapatkan kemampuan
tersebut dengan sendirinya, sesungguhnya ia berada pada jurang
kesalahan.
Ia terbuai oleh kesombongannya kemudian lalai akan kenyataan ini dan
berpikir bahwa keberhasilan yang diperolehnya berasal dari prestasi yang
dimilikinya. Hal ini lantas membuatnya sombong dan tidak ikhlas. Apa
yang pantas bagi seorang mukmin sejati adalah tidak pernah menganggap
bahwa keberhasilan yang didapatnya adalah karena kemampuan yang
dimilikinya, meski sesungguhnya ia adalah seseorang yang sangat mampu,
cerdas, dan merupakan manusia yang paling sempurna yang pernah ada di
bumi.
Kesombongan tidak akan pernah menguasai dirinya kalau saja ia bersikap
santun untuk mengakui kelemahan diri yang menghalanginya dari semua
keberkahan tersebut, bahkan kemudian Allah akan melimpahkan kemurahan,
bahkan lebih, atas dirinya. Allah akan membawa dirinya menggapai ridha,
kasih sayang, serta masuk ke dalam surga-Nya sebagai balasan atas
keikhlasan serta ketulusan hatinya.
Sekalipun begitu, banyak orang yang lalai dan lupa bahwa kehidupan dunia
adalah fana dan hanya merupakan sebuah ujian bagi orang-orang beriman.
Mereka akan ingat kepada Allah tatkala ditimpa kemalangan. Akan tetapi,
mereka tidak bersyukur ketika keberuntungan serta kenikmatan datang
kepadanya. Mereka juga melakukan kesalahan besar, dengan meyakini bahwa
keberkahan dan keberuntungan yang diperolehnya itu merupakan hasil jerih
payah yang dikerjakannya. Mereka yakin bahwa keberhasilan hanyalah
milik mereka semata. Dalam surah az-Zummar, Allah berfirman,
"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila
Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, 'Sesungguhnya, aku
diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.' Sebenarnya itu adalah
ujian, namun kebanyakan mereka itu tidak mengetahuinya." (az-Zumar [39]:
49)
Kecenderungan lain yang sering ada di antara orang yang berada di bawah
pengaruh kesombongan adalah "ambisi untuk menjadi pemimpin". Hawa nafsu
menggoda manusia agar berambisi meraih cita-citanya tersebut, bahkan
sambil menunjukkan amalan-amalan saleh dan berusaha merusak
keikhlasannya dengan memberikan alasan-alasan yang dapat diterima oleh
akal.
Said Nursi menegaskan, "Keikhlasan dan ketaatan pada kebenaran
membutuhkan orang yang seharusnya berkeinginan agar setiap muslim dapat
memperoleh keuntungan dan manfaat dari siapa pun dan di mana pun mereka
bisa. Berpikir, 'Biarkan mereka mengambil pelajaran dari diriku.
Dengan begitu, aku akan mendapatkan pahala,' merupakan tipu muslihat
dari nafsu dan diri sendiri." 33 Pada berbagai keadaan, sebagian orang
melakukan tindakan dengan mangambil keputusan, "Aku akan menjadi orang
yang menyelesaikan tugas ini," tanpa meminta balasan atas hasil atau
manfaat yang dapat diraih sebagai konsekuensinya. Watak seperti ini,
dikuasai oleh keinginan untuk memimpin dan rasa sombong, dan hal ini
sangat merusak keikhlasan.
Sebagaimana diungkapkan Badiuzzaman, "Jika kita mengatakan kepada diri
sendiri, 'Biarkan diriku yang mendapatkan pahala tersebut, biarkan
diriku yang memimpin orang-orang ini, biarkan mereka mendengarkan
diriku,' maka pikiran ini menciptakan persaingan terhadap
saudara-saudaranya yang ada di hadapannya dan saudaranya yang
benar-benar butuh kasih sayang, pertolongan, persaudaraan, dan bantuan.
Mengatakan pada diri sendiri, 'Mengapa murid-muridku datang kepadanya?
Mengapa aku tidak memiliki murid sebanyak yang ia miliki?' ini akan
menjatuhkannya menjadi korban keegoisan, kecenderungan penyakit ambisius
yang menggebu, ia kehilangan segala keikhlasan, dan terbuka peluang
menuju kemunafikan." 34 Seseorang yang memiliki tabiat buruk akan
menganggap saudara muslimnya sebagai saingan bagi dirinya. Rasa tidak
rela jika orang lain ditugasi tanggung jawab penting dan berhasil
menyelesaikan tugasnya, dapat dipahami sebagai keinginan untuk tidak
mengharapkan siapa pun mendapatkan pahala surga atau menerima sebuah
tanggung jawab yang membuatnya masuk ke dalam surga.
Sifat yang paling mulia menurut Al-Qur`an adalah yang paling ikhlas,
dengan membiarkan orang lain memperoleh jalan masuk ke surga dan
menumbuhkan semangat mereka agar memulai tugas-tugas yang membuat Allah
senang.
Seorang muslim seharusnya berharap agar orang lain memperoleh
pahala-pahala surga dan melakukan tugas-tugas mulia yang membimbing
mereka kepada pertolongan di hari kiamat. Seperti halnya ia ingin
melakukan amal saleh untuk keuntungan dirinya sendiri.
Mengubah perilaku baik seseorang demi kepentingan ambisi duniawi, dengan
mengatakan, "Aku adalah orang yang paling mampu menyelesaikan tugas
ini", "Biarkan mereka melihat betapa aku mampu mengurus tugas tersebut
dengan baik dan melihat betapa unggulnya kelebihan-kelebihan yang aku
miliki", "Aku akan melakukan pekerjaan ini agar dapat meraih status dan
martabat di antara orang-orang beriman", adalah bertentangan dengan
keikhlasan.
Yang bahkan seharusnya dilakukan seseorang adalah memberikan yang lebih
dia sukai kepada mukmin lain. Ia dapat menunjukkan bahwa ia juga
memiliki keunggulan yang membuat dirinya mampu mengamalkan perbuatan
baik dan berlaku ikhlas. Agar dapat mengalahkan kesombongan dan
ambisinya atas kekuasaan, Badiuzzaman said Nursi memberikan nasihat,
"Obat dan penyembuh bagi penyakit hati yang serius ini adalah dengan
membanggakan sahabat atau teman seperjuangan dalam menempuh jalan yang
lurus. Ini berkaitan dengan prinsip mencintai karena Allah. Selain itu,
dengan mengikuti mereka serta menolak menjadi pemimpin mereka dan
menganggap orang yang berada di jalan Allah mungkin lebih baik dari
dirinya sendiri.
Dengan demikian, sifat egois diharapkan dapat hancur dan keikhlasan
diperoleh kembali. Penyakit hati ini juga bisa dihindari dengan
mengetahui bahwa sebuah perbuatan kecil yang dilakukan dengan ikhlas
lebih disukai daripada perbuatan besar yang dilakuakan tanpa keikhlasan,
serta menyukai status sebagai pengikut daripada pemimpin, dengan segala
bahaya dan tanggung jawab yang harus dipikul. Jadi, keikhlasan harus
dimiliki setiap orang dan merupakan tugasnya dalam rangka mempersiapkan
diri untuk hari kiamat yang kedatangannya pasti akan terjadi." 35
Dengan ungkapan ini, Said Nursi--sekali lagi--telah menegaskan betapa
pentingnya keikhlasan dan ia mengingatkan orang-orang beriman bahwa
mereka yang ingin menikmati kehidupan surga di akhirat harus
membersihkan dirinya dari sifat mementingkan diri sendiri, seperti
egoisme, persaingan, dan ambisi untuk menjadi pemimpin.
Said Nursi juga memberikan catatan tentang pentingnya memberikan sesuatu
yang lebih didambakan oleh mukmin lainnya sebagai sebuah bentuk
keikhlasan. Memperkenankan saudara mukmin lainnya untuk memimpin dan
gembira dengan apa yang dicapainya. Said Nursi juga mengingatkan
orang-orang beriman bahwa yang sesungguhnya mencerminkan keikhlasan
adalah dengan berkeyakinan bahwa orang lain juga mampu lebih unggul dari
dirinya dan mengakui keunggulannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar