Social Icons

Pages

About Me

Selasa, 24 Maret 2015

SEJARAH TULUNGAGUNG

Secara administratif, Tulungagung berbatasan dengan Blitar di timur, Trenggalek di bagian barat, dan Kediri di sisi utara. Batas Tulungagung bagian selatan adalah samudera Hindia. Tulungagung memiliki 19 kecamatan, yaitu Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat, Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut, Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol, Tanggunggunung, dan kecamatan Tulungagung.
             Ditinjau dari asal kata, Tulungagung berasal dari dua kata Jawa kawi yaitu Tulung dan Agung. Tulung bermakna pertolongan atau sumber air, sedangkan agung bermakna besar. Dengan demikian nama Tulungagung mengandung dua makna yaitu pertolongan agung dan sumber air besar. Dua makna itu sama-sama cocok diterapkan untuk Tulungagung.
Berdasarkan pandangan geografis, sejak jaman Erlangga sampai jaman orde lama, wilayah Tulungagung bagian tengah dan selatan merupakan hamparan rawa sangat luas dan dalam. Sebelum nama Tulungagung digunakan, kabupaten di selatan sungai Brantas ini pernah menggunakan nama kabupaten Ngrawa. Dalam cerita rakyat, Tulungagung dikenal juga sebagai Bonorowo, artinya hutan yang berubah jadi rawa. Ini penjelasan Tulungagung bermakna sebagai sumber air besar.
Sementara Tulungagung bermakna sebagai pertolongan agung adalah berdasarkan pandangan historis. Bahwa sejak jaman Medang Mataram, Tulungagung senantiasa memberikan pertolongan besar atau agung kepada pararaja yang memerintah dalam kurun berbeda. Di sini Tulungagung sebagai subyek yang memberi, bukannya obyek yang menerima pertolongan agung.
Lepas dari makna apa yang paling tepat, yang jelas istilah Tulungagung mulai digunakan sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April 1901, dimana sejak itu kabupaten Ngrawa berubah menjadi kabupaten Tulungagung. Penanggalan ini sempat dijadikan landasan penentuan hari jadi Tulungagung, meski kemudian, pada tahun 2003, direvisi berdasarkan penanggalan prasasti Lawadan, 18 Nopember 1205M.Sampai sekarang tanggal 18 Nopember ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten Tulungagung.
Pada masa lalu, wilayah brangkidul Tulungagung adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan daerah Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan Trenggalek, termasuk daerah Kampak dan Munjungan. Karena itu sejarah Tulungagung bakal bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung, terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri.
Selama ini boleh dibilang belum ada buku sejarah yang mengupas secara dalam sejarah Tulungagung sebelum Majapahit runtuh. Sebagian banyak sejarawan ketika membicarakan sejarah Tulungagung hanya menjangkau sampai masa Mataram Islam atau masa pemerintahan Sultan Agung [1613M-1645M] dengan keberadaan seorang tokoh yang menjadi adipati di kadipaten amancanegara Wajak yaitu Tumenggung Surantani.
Pada kesempatan ini kita akan mencoba menguak lebih jauh sejarah peradaban Tulungagung berdasarkan sumber sumber sejarah primer, sekunder dan tersier. Nanti akan ternyata bahwa keberadaan Tulungagung dalam panggung sejarah Nusantara sudah tampil sebagai wilayah berpemerintahan jauh sebelum keluarnya prasasti Lawadan yang sekarang menjadi landasan penentuan hari jadi kabupaten Tulungagung.
* * *
Tulungagung Masa kerajaan Medang Jawatengah
SRI DHARMODAYA RAKRYAN WATUKURA HAJI BALITUNG adalah raja Medang i Poh Pitu yang berkuasa antara tahun 898M-910M. Di awal tahun memerintah, Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yaitu Penampihan. Di dusun Ngrejeng, desa Geger, Sendang Tulungagung terdapat candi Penampihan dan di halaman candi di depan pintu masuk terdapat prasasti batu berangka tahun 820C/898M serta terdapat arca ganesa berangka tahun 1174C/1194M. Jadi sejak tahun 898M daerah Penampihan telah ditetapkan sebagai daerah sima perdikan. Ini juga menunjukkan bahwa sejak tahun 898M, Tulungagung sudah secara resmi memiliki bentuk pemerintahan merdeka dan berhak mengatur rumahtangga sendiri. Sementara itu adanya peninggalan arca berangka tahun 1194M sangat mungkin berkaitan dengan keberadaan raja Kertajaya yang pada tahun itu mengeluarkan prasasti untuk daerah Kamulan Kalangbret.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Haji Balitung adalah maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawatimur bahkan Bali. Pada masa itu di Jawatimur berdiri satu kerajaan besar bernama Kanjuruhan yang berpusat di timur gunung Kawi. Untuk menguasai Jawatimur, sudah barang tentu Haji Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya.
Tetapi pada penyerbuan pertama, pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan. Atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Kemudian sri maharaja rakryan Watukura haji Balitung kembali mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah Penampihan sewilayahnya dan termuat dalam prasasti tembaga yang dikenal sebagai prasasti Kubu Kubu bertarikh 827C/17 Oktober 905M.
Prasasti Kubu Kubu terdiri dari 6 lempengan tembaga yang merupakan lempengan ke-1, 3, 4, 5, 6, dan lempengan 7 dari sebuah prasasti, masing masing berukuran 35,5×6 cm. Lempengan 1 terdiri dari 5 baris pada satu sisi. Lempengan 3 dan 4 bertulis 5 baris pada dua sisi. Lempengan 5 dan 6 bertulis 4 baris pada dua sisi. Lempengan 7 bertulis 4 baris pada satu sisi. Huruf dan bahasanya Jawakuna. Menurut Damais dan Buchori, lempengan prasasti ini berasal dari situs Penampihan.
Setelah Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu Daksa, rake Layang dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa.
Rake Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada masa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah Jawa. Sriwijaya merupakan satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya. Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir bersama sisa pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui sejarah perseteruan Sriwijaya dan Medang.
* * *
Tulungagung Masa Kerajaan Medang Jawa Timur
Berdasarkan prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok membangun keraton baru pertama di Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam prasasti ini. Diperkirakan berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian berdasarkan prasasti Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke Watugaluh, masih di daerah Jombang.
Mendengar kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa Selendra di Jawatengah tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui jalur darat atau pedalaman, dengan tujuan utama menghacurkan pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu dihadang di daerah Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat. Sriwijaya harus mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok untuk berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang. Pasukan besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok itu berkat bantuan kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok kemudian menganugerahi daerah Anjukladang sebagai sima perdikan dan dikukuhkan pada prasasti.
Sangat mungkin kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Ketika itu selain melakukan perjalanan melalui darat dan dicegat di daerah Anjukladang, armada pasukan Sriwijaya juga melakukan perjalanan melalui jalur laut dan berlabuh di pantai selatan atau sekitar pantai Parigi. Sampai kemudian kekuatan dari Kampak membantu mpu Sindok berusaha menghalau pasukan Sriwijaya yang berniat menguasai Jawatimur. Atas jasa besar yang telah diberikan para penduduk Kampak, Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kampak.
Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak pernah masuk Brang Kidul Tulungagung ketika masih bernama kadipaten amancanegara Wajak. Karenanya dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Kemudian pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan Medang Jawatimur, wangsa Selendra yang masih membangun kekuasaan di Jawatengah berupaya mendesak ke timur. Sementara kekuatan Medang Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai akhirnya wangsa Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh menguasai sepenjuru Jawa.
Dharmawangsa giat membangun armada laut untuk mempermudah upaya memburu wangsa Selendra yang membangun kekuatan di Sriwijaya Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan kekuasaan ke sepenjuru nusantara. Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut menyerbu Palembang.
Tetapi peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya datang menggelombang menghancur kejayaan Sri maharaja Dharmawangsa Teguh. Raja Sriwijaya yang menyokong kekuatan dahsat Lwaram itu adalah Sri Marawijayattunggawarman, putra Cundamaniwarman dari wangsa Selendra. Raja ini keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa kelak diabadikan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada tahun 1041M:
rikalaning pralaya ring yawadwiparikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawa-dwipa rikangkala. Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka atau 1006M, akibat prahara yang dilancarkan raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu bagaikan hamparan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa Cane. Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada seorang pandita penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Terep sebagai istri selir.
Ketika Medang i Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin. Menurut Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, kerajaan Lodoyong berpusat di daerah Tulungagung sekarang. Jadi Tulungagung klasik pernah bertegak satu kerajaan bernama Lodoyong yang dipimpin raja perempuan bernama ratu dyah Tulodong. Sementara pusat kerajaan Hasin sekarang berada di sekitar kota Trenggalek atau di barat sungai Ngasinan.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke pertapaan Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara yang sangat tangguh. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada desa Baru. Adapun jasa-jasanya rakyat desa Baru karena mereka telah memberikan layanan sebagaimana mestinya pada waktu Erlangga dan balatentaranya berkemah di desa Baru menjelang penyerbuan ke kerajaan Hasin. Pada waktu itu raja berjanji menjadikan desa Baru sebagai sima perdikan apabila menang peperangan dan berhasil mengalahkan raja Hasin.
Jadi menjelang penyerbuan terhadap Hasin, Erlangga berkubu di daerah perbatasan atau menjelang masuk Hasin. Daerah Baru bukan wilayah Hasin. Jika merupakan wilayah Hasin, tentulah para penduduk Baru yang setia pada Hasin akan melawan Erlangga. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Baru membantu Erlangga menyerbu Hasin di kota Trenggalek sekarang.
Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua daerah brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Sekarang desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung. Tetapi pada masa Erlangga, desa Baru masuk wilayah Tulungagung. Tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa daerah Brang Kidul Tulungagung kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong tidak tinggal diam.Hasin berada tepat di barat Lodoyong dan Erlangga melibatkan penduduk Baru. Pemberian anugerah Erlangga kepada desa Baru sama artinya meleceh kekuasaan ratu Tulodong karena daerah Baru merupakan kekuasaan Lodoyong. Maka pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menggempur istana Erlangga di Watanmas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah tempat bernama Patakan.Peristiwa sejarah ini tercatat dalam Prasasti Terep 1032M : “…Cri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”.
Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, menyimpulkan bahwa sang penakluk itu adalah ratu Dyah Tulodong, penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau Tulungagung sekarang.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.
Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil menaklukkan kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong. Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah menundukkan Lodoyong, balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong bergabung merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana Watan Mas, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini karena Erlangga memiliki pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu Sindok, bahwa istana yang pernah diduduki musuh bakal menciptakan kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga tahun setelah penaklukkan Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu kembali menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin.Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap Lodoyong dan Wengker:
Ada sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang perempuan perkasa bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu pada tahun saka 954/1032M. Pada waktu itulah nama raja semakin harum lantaran menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.
Bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan. Kemudian daerah selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang dihadiahkan kepada para hambanya, kemasyuran sang raja setara para brahmana dan petapa.
Terdorong keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat pada tahun 957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, hari Rabu, membawa balatentara tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang (pasukan Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.
Mencermati prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari daerah selatan sungai Brantas bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti nyata wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh menakutkan bertaring menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong berkekuatan dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa. Dalam pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa dianggap lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa. Prasasti itu bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sekali lagi, pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai haluan keyakinannya. Ini ternyata terus dilakukan para penguasa di masa kemudian.
Penyerupaan ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan denawa untuk Endang Sasmitapuri, ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi mencatat adipati Palembang arya Damar merupakan putera Prabhu Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan Wanasalam. Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam cerita babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa aliran Bhairawa.
Ada kemungkinan, lantaran muncul ungkapan ’pemimpin perempuan di daerah selatan sungai Brantas yang bertubuh perkasa serupa raksasa’ dalam prasasti Pucangan, banyak sejarawan enggan menguak peristiwa sejarah itu. Penyusun buku Sejarah Nasional Indonesia juga sulit menafsirkan siapa sesungguhnya penguasa perempuan perkasa yang berhasil menaklukkan Erlangga itu. Berita kehancuran Erlangga di istana Watan Mas memang sempat pula dipaparkan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan 1990M —hanya menafsirkan ’daerah di Jawa bagian selatan’ sebagai Lwaram. Sementara Lwaram bukan di selatan Penanggungan, melainkan di arah barat.
Setelah Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah dalam kekuasaannya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada prasasti Turun Hyang I, 1036M, bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan. Dapat dikatakan, pada masa ini, Erlangga adalah raja Medang bhumi Kahuripan.
Hingga pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju kotaraja Kahuripan, menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita dari bhumi Lodoyong itu tentang banjir sungai Brantas yang kembali menjebol tanggul di daerah Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk brang kidul, membikin hasil tanam melorot, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang jumlahnya. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung, tetapi setiap datang musim hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol menggerus, mengalir bebas ke selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga bhumi Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan pertapaan-pertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana di Surapura.
Pada waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul di daerah Ngunut atau sekitar desa Kaliwungu. Dari sana banjir mengalir ke selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim hujan. Banjir rutin itu menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan Walikukun dan Indrakila tergenangi air melimpah ruah membentuk hamparan rawa. Daerah-daerah tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan tanahnya menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara mengalir menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani Bala. Sungguh hamparan rawa sangat luas.
Sepertiga bhumi Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena meski musim hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung dan lembah-lembah tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai Brantas. Inilah awal mula terciptanya rawa di selatan gunung Wilis atau di Tulungagung.
Erlangga tentu masih teringat peristiwa di penghujung 1030M saat kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan, Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan daerah.
Daerah Lodoyong sejak lama terkenal dengan hasil panen padi unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para pedagang Tiongkok. Setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan, Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di Jawa Timur.
Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu. Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan, utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti Kamalagyan.
Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas di Lodoyong.
Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. Pasukan tanggap bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai Brantas yang kelak bernama Pulotandha, artinya tanah tempat berdiam para tandha atau prajurit. Di timur laut desa Pulotandha inilah banjir sungai Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha sudah terendam air rawa.
Penanggulangan banjir sungai Brantas di Lodoyong dilakukan sangat cermat. Pertama yang dilakukan adalah menutup tempat yang menjadi pintu masuknya banjir. Tempat itu merupakan tebing sungai paling rendah sehingga ketika sungai Brantas meluap, airnya mudah menjangkau. Maka tanggul panjang, besar, dan cukup tinggi dibangun menggunakan gelondongan kayu-kayu dan batu-batu. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan semangat keras.
Dan kali ini pembuatan tanggul bukan hanya pada tempat yang menjadi pintu masuk banjir. Jika itu masih dilakukan, sebagaimana sebelumnya dilakukan penduduk Brang Kidul, maka banjir akan mencari tempat baru di bagian hulu dan hilir pintu itu lalu kembali menggerus. Maka tanggul sungai dibuat cukup panjang.
Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka melanjutkannya dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa, artinya sungai yang airnya berasal dari rawa.
Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.
Maka kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu terbuat dari gelondongan kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Kelak yang bertugas menjaga pintu bendungan itu adalah para penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa sekitar Waringin Sapta. Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas butuh tenaga banyak.
Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor beberapa prajurit telik sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma yang pernah ditaklukkan Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan melancarkan pemberontakan. Rupanya kabar pembangunan bendungan di Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong berada tepat di timur Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah Hasin. Wengker tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu sangat menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu. Ini yang kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan semacam pemberontakan, memerdekakan diri.
Maka begitu pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung, pasukan gabungan Medang dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju Wengker. Dalam prasasti memberitakan bahwa pasukan itu berderap ke arah barat lalu menghancurkan Wengker. Raja Wijayawarmma melarikan diri.
Tetapi patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan mendapat ampunan Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia menunaikan titah Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti. Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri.
Selepas menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Pitu, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa pengurangan —bukan pembebasan— pajak-pajak hasil bumi yang seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya, tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan. Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan maharaja. Dalam prasasti bendungan ini disebut sebagai Bendungan Maharaja.
Meski telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad, rawa luas itu tetap ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke utara dari arah Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi kerap ketika musim banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran banjir Brantas naik mendesak muara sungai Ngrawa.
Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo.
Analisa yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis prasasti in situ atau sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari penyebutan nama-nama daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta, Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan Kamulan dalam prasasti Kamalagyan. Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan prasasti Kamulan1194M, prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut. Kamulan Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan Tulungagung. Kakalangan, Kala, nama kuna desa Kalangbret, Tulungagung. Kalagyan, nama kuna dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin Pitu sekarang berganti menjadi desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan sungai Brantas Tulungagung. Disimpulkan prasasti kamalagyan dikeluarkan Erlangga untuk suatu daerah di Brang Kidul Tulungagung yang pada masa itu dipimpin ratu Tulodong.
Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Prabhu Erlangga sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan Lewa. Prabhu Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan, menjadi maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangganama Prasadottunggadewa. Sang Prabhu didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu Narottama.
Prabu Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari permaisuri, menurunkan Dewi Kilisuci atau Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi dan Lembu Amiluhur atau Mapanji Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Lembu Amerdadu atau Mapanji Garasakan, dan Lembu Pangarang atau Mapanji Alanjung Ahyes.
Seluruh putra Prabhu Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton masing-masing. Dewi Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton Kadiri di barat sungai Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di timur sungai Brantas. Mapanji Garasakan menempati keraton di timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung Ahyes diperkirakan menempati keraton Hasin.
Pada masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota Erlangga ini meninggalkan kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi seorang petapa di goa Selamangleng, lereng timur gunung Wilis.
Dipastikan Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri mahkota atau meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai 1041M. Pada prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat sebagai mahamentrihino. Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh 1041M, mahamentrihino sudah berganti kepada Samarawijaya, adik kandungnya.
Pada tahun 1041M, Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan. Tak lama setelah itu, Erlangga memindah ibukota kerajaannya ke Daha. Dalam Prasasti Pamwatan, 20 Nopember 1042M, ibukota kerajaan Erlangga sudah di Dahana atau Daha. Negarakertagama juga menyebut Erlangga sebagai raja Panjalu Daha. Serat Calonarang, 1540M berulang-ulang menyebut Daha sebagai istana terakhir Erlangga. Jadi di akhir pemerintahannya, Erlangga adalah raja Medang bhumi Daha.
Belum dapat dipastikan latarbelakang mengapa Erlangga mendadak meninggalkan istana Kahuripan menuju Daha. Kesimpulan sementara yang dimajukan adalah setelah Dewi Kilisuci meninggalkan keraton Kediri bertapa di goa Selamangleng, putra mahkota Samarawijaya dipindah dari Daha ke Kediri, atau dari timur ke barat sungai Brantas, sementara Mapanji Alanjung Ahyes pindah ke Kahuripan, sedangkan Mapanji Garasakan tetap di timur gunung Kawi. Keberadaan Erlangga di keraton Daha juga memudahkan hubungan dengan putinya yang sudah bertapa di goa Selamangleng. Jarak antara keraton Daha dengan keraton Kediri atau goa Selamangleng hanya dibatasi sungai Brantas.
Berpindahnya pusat pemerintahan kerajaan Medang dari Kahuripan ke pedalaman Daha, membuat daerah sekitarnya semakin berkembang, termasuk Tulungagung atau pada waktu itu bernama Lodoyong. Setelah pembangunan bendungan Maharaja, pertanian di Tulungagung berkembang pesat, karena melimpahnya air untuk daerah pertanian padi. Sungai Brantas semakin ramai oleh kehadiran perahu-perahu dari arah pelabuhan Hujung Galuh menuju Daha atau Tulungagung. Keberadaan perahu-perahu besar yang melayari sungai Brantas kelak termuat pula dalam prasasti Jaring bertarikh 1181M.
Sampai kemudian Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya bergantian, menasihati supaya berhenti berperang. Dianjurkan keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing. Samarawijaya supaya tetap di barat sungai Brantas atau Kediri dan akan dinobatkan sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula Mapanji Garasakan yang berkuasa di timur gunung Kawi, supaya tetap menjadi raja di sana dan akan menguasai kerajaan yang diberi nama Jenggala. Sejak saat itu muncul dua wilayah kerajaan di barat dan timur gunung Kawi, Panjalu di barat, Jenggala di timur. Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan berjanji mematuhi nasihat sang pandita.
Jadi pembelahan kerajaan itu maksudnya pembagian dua wilayah besar dengan garis batas dari utara ke selatan mengikuti lajur pegunungan Penanggungan ke selatan, terus menuju gunung Kawi, sampai selatan sungai Brantas. Dalam prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama, penentuan garis batas alam itu disimbolkan dengan pembuatan garis batas gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates